Selasa, 21 Februari 2012

JANGAN HANYA DI 5 SENTI

kemarin dapat email dari teman, emailnya forward an dari Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang. isinya bagus banget. ini aku copas tanpa aku edit. semoga bisa mengginspirasi teman teman..check it brot!!!!

Ada tulisan menarik dari dosen saya saat di UISalam
Najib

Sekolah 5 Senti Renald Kasali

Setiap
kali berkunjung ke Yerusalem, saya sering tertegun melihat orang-orang
Yahudi orthodox yang penampilannya sama semua. Agak mirip dengan China
di era Mao yang masyarakatnya dibangun oleh dogma pada rezim otoriter
dengan pakaian ala Mao.

Di China, orang-orang tua di era Mao
jarang senyum, sama seperti orang Yahudi yang baru terlihat happy saat
upacara tertentu di depan Tembok Ratapan. Itupun tak semuanya. Sebagian
terlihat murung dan menangis persis di depan tembok yang banyak
celahnya dan di isi kertas-kertas bertuliskan harapan dan doa.Perhatian
saya tertuju pada jas hitam, baju putih, janggut panjang dan topi kulit
berwarna hitam yang menjulang tinggi di atas kepala mereka.

Menurut Dr. Stephen Carr Leon yang pernah tinggal di Yerusalem, saat
istri mereka mengandung, para suami akan lebih sering berada di rumah
mengajari istri rumus-rumus matematika atau bermain musik. Mereka ingin
anak-anak mereka secerdas Albert Einstein, atau sehebat Violis terkenal
Itzhak Perlman.

Saya kira bukan hanya orang Yahudi yang ingin
anak-anaknya menjadi orang pintar. Di Amerika Serikat, saya juga
melihat orang-orang India yang membanting tulang habis-habisan agar
bisa menyekolahkan anaknya. Di Bekasi, saya pernah bertemu dengan orang
Batak yang membuka usaha tambal ban di pinggir jalan. Dan begitu saya
intip rumahnya, di dalam biliknya yang terbuat dari bambu dan gedek
saya melihat seorang anak usia SD sedang belajar sambil minum susu di
depan lampu templok yang terterpa angin.

Tapi tahukah anda, orang-orang yang sukses itu sekolahnya bukan hanya 5 senti?

Dari Atas atau Bawah ?

Sekolah 5 senti dimulai dari kepala di bagian atas. Supaya fokus, maka
saat bersekolah, tangan harus dilipat, duduk tenang dan mendengarkan.
Setelah itu, apa yang di pelajari di bangku sekolah diulang dirumah, di
tata satu persatu seperti melakukan filing, supaya tersimpan teratur di
otak.

Orang-orang yang sekolahnya 5 senti mengutamakan raport
dan transkrip nilai. Itu mencerminkan seberapa penuh isi kepalanya.
Kalau diukur dari kepala bagian atas, ya paling jauh menyerap hingga 5
sentimeter ke bawah.

Tetapi ada juga yang mulainya bukan dari
atas, melainkan dari alas kaki. Pintarnya, minimal harus 50 senti,
hingga ke lutut. Kata Bob Sadino, ini cara goblok. Enggak usah mikir,
jalan aja, coba, rasain, lama-lama otomatis naik ke atas.

Cuma, mulai dari atas atau dari bawah, ternyata sama saja. Sama-sama bisa sukses dan bisa gagal.

Tergantung berhentinya sampai dimana.

Ada orang yang mulainya dari atas dan berhenti di 5 senti itu, ia hanya
menjadi akademisi yang steril dan frustasi. Hanya bisa mikir tak bisa
ngomong, menulis, apalagi memberi contoh.

Sedangkan yang mulainya dari bawah juga ada yang berhenti sampai dengkul saja, seperti menjadi pengayuh becak.

Keduanya sama-sama berat menjalani hidup, kendati yang pertama dulu bersekolah di ITB atau ITS dengan IPK 4.0.

Supaya bisa menjadi manusia unggul, para imigran Arab, Yahudi, China,
dan India di Amerika Serikat menciptakan kondisi agar anak-anak mereka
tidak sekolah hanya 5 senti tetapi sekolah 2 meter. Dari atas kepala
hingga telapak kaki.

Pintar itu bukan hanya untuk berpikir
saja, melainkan juga menjalankan apa yang dipikirkan, melakukan
hubungan ke kiri dan kanan, mengambil dan memberi, menulis dan
berbicara. Otak, tangan, kaki dan mulut sama-sama di sekolahkan, dan
sama-sama harus bekerja.

Sekarang saya jadi mengerti mengapa
orang-orang Yahudi mengirim anak-anaknya ke sekolah musik, atau mengapa
anak-anak orang Tionghoa di tugaskan menjaga toko, melayani pembeli
selepas sekolah.

Sekarang ini Indonesia sedang banyak masalah
karena guru-guru dan dosen-dosen nya – maaf-sebagian besar hanya pintar
5 senti dan mereka mau murid-murid nya sama seperti mereka.

Guru Besar Ilmu Teknik (sipil) yang pintarnya hanya 5 senti hanya asyik
membaca berita saat mendengar Jembatan Kutai Kartanegara ambruk atau
terjadi gempa di Padang.

Guru besar yang pintarnya 2 meter
segera berkemas dan berangkat meninjau lokasi, memeriksa dan mencari
penyebabnya. Mereka menulis karangan ilmiah dan memberikan simposium
kepada generasi baru tentang apa yang ditemukan di lapangan.

Yang sekolahnya 5 senti hanya bisa berkomentar atas komentar-komentar
orang lain. Sedangkan yang pandainya 2 meter cepat kaki dan ringan
tangan.

Sebaliknya yang pandainya dari bawah dan berhenti
sampai di dengkul hanya bisa marah-marah dan membodoh-bodohi
orang-orang pintar, padahal usahanya banyak masalah.

Saya
pernah bertemu dengan orang yang memulainya dari bawah, dari
dengkulnya, lalu bekerja di perusahaan tambang sebagai tenaga fisik
lepas pantai. Walau sekolahnya susah, ia terus menabung sampai akhirnya
tiba di Amerika Serikat. Disana ia hanya tahu Berkeley University dari
koran yang menyebut asal sekolah para ekonom terkenal. Tetapi karena
bahasa inggris nya buruk, dan pengetahuannya kurang, ia beberapa kali
tertipu dan masuk di kampus Berkeley yang sekolahnya abal-abal. Bukan
Berkeley yang menjadi sekolah para ekonom terkenal.

Itupun
baru setahun kemudian ia sadari, yaitu saat duitnya habis. Sekolah
tidak jelas, uang pun tak ada, ia harus kembali ke Jakarta dan bekerja
lagi di rig lepas pantai.

Dua tahun kemudian orang ini kembali
ke Berkeley, dan semua orang terkejut kini ia bersekolah di Business
School yang paling bergengsi di Berkeley.

Apa kiatnya?

"Saya datangi dekannya, dan saya minta diberi kesempatan. Saya katakan,
saya akan buktikan saya bisa menyelesaikannya. Tetapi kalau tidak
diberi kesempatan bagaimana saya membuktikannya? "

Teman-teman
nya bercerita, sewaktu ia kembali ke Berkeley semua orang Indonesia
bertepuk tangan karena terharu. Anda mau tahu dimana ia berada
sekarang? Setelah meraih gelar MBA dari Berkeley dan meniti karir nya
sebagai eksekutif, kini orang hebat ini menjadi pengusaha dalam bidang
energy yang ramah lingkungan, besar dan inovatif.

Saya juga
bisa bercerita banyak tentang dosen-dosen tertentu yang pintarnya sama
seperti Anda, tetapi mereka tidak hanya pintar bicara melainkan juga
berbuat, menjalankan apa yang dipikirkan dan sebaliknya.

Maka jangan percaya kalau ada yang bilang sukses itu bisa dicapai melalui sekolah atau sebaliknya.

Sukses itu bisa dimulai dari mana saja, dari atas oke, dari bawah juga
tidak masalah. Yang penting jangan berhenti hanya 5 senti, atau 50
senti. Seperti otak orang tua yang harus di latih, fisik anak-anak muda
juga harus di sekolahkan.

Dan sekolahnya bukan di atas bangku,
tetapi ada di alam semesta, berteman debu dan lumpur, berhujan dan
berpanas-panas, jatuh dan bangun.


setelah baca ini ada banyak hal yang aku pikirkan, dan sepertinya tidak perlu aku tulis di sini. bagaimana dengan teman teman??

thanks to Yuni di Jakarta atas emailnya. kalo ada lagi aku langsung di forward ya... ^ ^

Selasa, 07 Februari 2012

BOOK FAIR

JOGJAKU, JOGJAMU, JOGJA KITA SEMUA..

Waw..waw…bulan ini Jogja lagi banyak event ni. Mulai dari sekaten yang ditutup minggu kemaren dengan grebegan, trus pesta buku Jogja dengan jargonnya Jogja itoe boekoe (1-7 Feb di Balai Wanitatama), ada lagi pameran computer (4-8 Feb di JEC), Islamic Book Fair di GOR UNY yang selesai minggu malam kemarin, dan juga pekan budaya tionghoa di Ketandan Malioboro (waktunya kurang tau)..jadi pada pengen datang ke Jogja kan?? eh, ada satu lagi. di Monumen Jogja Kembali sekarang ada taman pelangi. di sekeliling monjadi di pasang lampion lucu2. gak kalah sama yang ada di kota Batu. coba deh kesana pas malam hari ;)

Nah..kemaren pas pulang dari sesi pemotretan sama temen kampus (berasa model) aku mampir ke Islamic Book Fair bareng temen temen. ada rara yang mau nyari buku 'om'nya tapi gak ketemu, nurma yang gak ada niat cari buku tapi tetep aja ketularan beli, trus ria yang ternyata udah punya incaran seabreg buku yang mau dibeli. waktu itu pas hari terakhir pameran buku (minggu malam). sebenernya dari awal buka pamerannya udah pengen ke sana, tapi gak jadi trus. di sana stand pameran gak sebanyak pameran pameran sebelumnya. mungkin karena waktunya barengan sama Pesta Buku Jogja. di Islamic Book Fair semua komplit, mulai dari buku buku (pastinya), baju, jilbab, sampe makanan berat dan ringan ada semua. komplit dah.....

liat buku berserakan jadi laper mata, dalam hati bilang "tina eling eling, jangan sampe kalap.." hehehe..
lumayan lama muter muter di pameran, ada satu buku yang bener2 dicari tapi tetep gak ketemu. di semua stand udah habis :( tapi no problemo..tak ada rotan bambu pun jadi.hahaha..tetep deh beli buku. mesti cuma satu :p. sekarang Islamic Book Fairnya udah selesai. ditunggu pameran pameran selanjutnya :D

fufftt...JOGJA memang hebat. kagak ada matinya dah..YUK PADA DATANG KE JOGJA!!!!!

buku yang berhasil dieksekusi :)

 nasi + soto medan + teh anget..sluurpp

namanya perempuan, gak bisa pisah sama asesoris

Kamis, 02 Februari 2012

Sejauh Mana Kita Menilai Kejujuran?

belum lama ini aku ngobrol dengan seorang bapak yang menceritakan tentang anak bungsunya. bapak itu bercerita kalau si bungsu sangat canggih dalam hal mencontek. dengan bangganya bapak itu bilang 'anak bungsu saya itu, metode mencontek apapun pasti bisa. saya diemin aja. asal nilai UANnya nanti bagus'. DUUAAAARRR...langsung shock dengernya. apa yang dipikirkan si bapak itu??? sekarang si bungsu sudah kuliah ambil jurusan HUKUM.
dan kemarin si bapak cerita lagi, kalo si bungsu dikasih uang buat bayar kuliah. eehh...uangnya malah dipake buat beli BB tanpa sepengetahuan ortunya. tau tau si bungsu minta uang lagi buat bayar kekurangan biaya kuliah. nah looo..

itu hanya sedikit cerita, sangat dimungkinkan masih banyak cerita cerita seperti itu. nyontek sepertimya memang perkara kecil. toh ada alasannya 'biar dapet nilai bagus'. tapi itu salah kawan. kelakuan kita saat SD, SMP, SMA, kuliah akan membentuk karakter kita selanjutnya. coba lihat dari cerita di atas. waktu SMA si bungsu dibiarkan nyontek sama ortunya biar nilai akhirnya bagus, pas kuliah jadi suka gak jujur masalah pembayaran biaya kuliah kan?? mungkin gak jujur dalam hal lainnya juga. dan bagaimana nanti kalau dia sudah kerja. apalagi si bungsu ambil jurusan HUKUM. bayangkan kalau si bungsu jadi pengacara, tapi sifat dan karakter masih seperti itu. OMG.....

memang tidak mudah untuk menjadi berbeda dengan yang lain, meski itu tujuannya baik. sudah sering aku ditertawakan, diejek, dicibir, dianggap sok suci gara gara aku bilang aku gak mau nyontek. tapi biarlah,..terserah mereka, memang hak mereka menilai. nyontek hanya sedikit hal mengenai kejujuran. masih banyak perkara lainnya. tapi percayalah kawan, dengan jujur kita tidak akan pernah rugi sedikitpun. dan pasti rasanya akan beda suatu hal yang diperoleh dengan curang dengan hal yang diperoleh dengan jujur.
bukan maksudku untuk menggurui, hanya saja aku sangat miris melihat orang lain, teman, orang dekat, saudara yang dengan entengnya memilih tidak jujur. apa tidak malu??

sungguh, ini bukan hanya masalah hasil. tapi bagaimana melatih rasa malu atas ketidakjujuran dan sejauh mana kita menilai kejujuran.